bagaimana meningkatkan emotional intelligence

  • Freddy butarbutar Universitas HKBP Nommensen
Keywords: emotional intelligence

Abstract

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Emotional Intelligence (EI) dapat dikembangkan dan bagaimana strategi mengembangkan emotional intelligence.  Emotional Intelligence merupakan suatu topik penelitian yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa decade terakhir.  Penelitian tentang emotional intelligence ini begitu menarik perhatian penelitia sehubungan dengan besarnya dampak dari  emotional intelligence  terhadap berbagai aspek dari kehidupan manusia, mulai dari kualitas hubungan, prestasi akademik, kemampuan mengatasi stres dan performa kerja dalam organisasi.  Aplikasi dari hasil penelitian emotional intelligence juga banyak dilakukan baik dalam hal seleksi, pelatihan dan pengembangan dan aspek lainnya dalam manajemen sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan emotional intelligence dalam konteks pekerjaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi literatur dengan merangkum berbagai teori.  Adapun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa emotional intelligence dapat dilatih dan dikembangkan baik dalam tingkat individu maupun dalam organisasi.  Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan untuk mengembangkan emotional intelligence dalam pekerjaan yaitu: (a) paving the way, (b) doing the work of change, (c) encourage transfer and maintenance of change,  (d) evaluate the change.

 

References

PENGEMBANGAN EMOTIONAL INTELLIGENCE DALAM KONTEKS PEKERJAAN
Freddy Butarbutar, S.Psi, M.Psi
(freddybutarbutar@uhn.ac.id)
Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Emotional Intelligence (EI) dapat dikembangkan dan bagaimana strategi mengembangkan emotional intelligence. Emotional Intelligence merupakan suatu topik penelitian yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa decade terakhir. Penelitian tentang emotional intelligence ini begitu menarik perhatian penelitia sehubungan dengan besarnya dampak dari emotional intelligence terhadap berbagai aspek dari kehidupan manusia, mulai dari kualitas hubungan, prestasi akademik, kemampuan mengatasi stres dan performa kerja dalam organisasi. Aplikasi dari hasil penelitian emotional intelligence juga banyak dilakukan baik dalam hal seleksi, pelatihan dan pengembangan dan aspek lainnya dalam manajemen sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan bagaimana cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan emotional intelligence dalam konteks pekerjaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi literatur dengan merangkum berbagai teori. Adapun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa emotional intelligence dapat dilatih dan dikembangkan baik dalam tingkat individu maupun dalam organisasi. Ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan untuk mengembangkan emotional intelligence dalam pekerjaan yaitu: (a) paving the way, (b) doing the work of change, (c) encourage transfer and maintenance of change, (d) evaluate the change.

Kata kunci: emotional intelligence, pengembangan, pekerjaan

I. PENDAHULUAN
Banyak penelitian yang diarahkan untuk memahami apa yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam bidang apapun yang ditekuninya. Ada suatu masa dimana kemampuan intelektual (IQ) merupakan penyumbang utama terhadap keberhasilan seseorang, namun para peneliti semakin menemukan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan. McDermott, (2008) menjelaskan bahwa terdapat banyak individu yang memiliki kemampuan intelektual yang istimewa namun kurang mampu mencapai prestasi terbaik dalam karir yang dijalaninya. Ada juga beberapa individu yang tidak berada dalam kategori berbakat namun secara berkelanjutan mencapai posisi puncak dalam bidang yang ditekuninya atau dalam organisasi dimana ia bekerja. Apa faktor yang bisa menjelaskan tentang kegagalan dan keberhasilan tersebut? Apakah IQ, pengalaman, keahlian tertentu, kemampuan berpolitik. Penelitian dalam dua dekade menunjukkan bahwa orang-orang yang berhasil dalam organisasi memiliki kesamaan dalam satu hal yang sangat penting yaitu emotional intelligence.
Selanjutnya MCDermott (2008) juga menyatakan bahwa di awal tahun 1990 an, psikolog yang bernama Peter Salovey dan Jack Mayer adalah yang pertama menyatakan bahwa individu memiliki perbedaan dalam hal mempersepsi, memahami dan menggunakan emosi yang selanjutnya dinamakan dengan emotional intelligence. Selanjutnya Daniel Goleman mempopulerkan istilah ini dalam konteks dunia kerja dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkan tahun 1995 dan Working with emotional intelligence yang diterbitkan pada tahun 1998. Goleman memiliki ketertarikan yang besar untuk memahami bagaimana kompetensi terkait dengan EI yang dapat mendukung performa yang superior dalam pekerjaan.
Emotional Intelligence menggambarkan kemampuan dalam mengidentifikasi, mengakses dan mengelola emosi diri, orang lain maupun kelompok. Orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi memahami diri mereka dengan baik dan juga mampu merasakan emosi orang lain. Inidividu ini juga tangguh dan optimis. Dengan mengembangkan emotional intelligence, individu akan menjadi lebih produktif dan berhasil dalam bidang yang ditekuni, juga mampu membantu orang lain menjadi lebih produktif dan berhasil. Proses dan hasil dari pengembangan emotional intelligence meliputi beberapa elemen yang mengurangi stres bagi individu dan organisasi melalui fasilitasi konflik, peningkatan pemahaman dan hubungan, mendorong kestabilan dan harmoni.
Banyak pelatihan yang dirancang dan ditujukan untuk mengungkap tentang dampak dari kecerdasan emosi terhadap berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Inteligensi tentu saja tetap merupakan hal yang penting, namun pendapat dari Goleman memperjelas bahwa ketika memasuki suatu bidang tertentu, maka aspek lainnya selain kecerdasan ternyata memegang peranan yang besar sehingga individu mampu tampil dengan performa yang baik. Aspek-aspek lainnya antara lain adalah kematangan, kesehatan emosi dan kedewasaan yang merupakan bagian dari karakter. Menurut Goleman, faktor emotional intelligence memegang peranan yang lebih besar dibandingkan inteligensi dan keahlian teknis. Dan selanjutnya ia menyatahkan bahwa semakin tinggi posisi seseorang maka peranan dai kecerdasan emosi juga menjadi semakin penting dalam melaksanakan peranan.
Peranan dari emotional intelligence yang besar terhadap berbagai aspek dalam pekerjaan, maka peneliti melakukan telaah literature untuk mendapatkan pemahaman apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan bagaimana mengembangkan emotional intelligence dalam konteks pekerjaan.

II. METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan selanjutnya menentukan bagaimana emotional intelligence dapat dikembangkan dalam konteks pekerjaan. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dimana peneliti melakukan penelusuran berbagai sumber untuk memahami tentang apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan bagaimana cara mengembangkannya dalam organisasi.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah emotional intelligence dapat dikembangkan dan bagaimana cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosi dalam konteks pekerjaan. Pada dasarnya kecerdasan emosi dan intelektual merupakan komponen yang saling berkaitan dalam mencapai keberhasilan tertentu. Frenandez-Araoz (dalam Cheriss& Goleman, 2001) menyatakan bahwa secara kualitatif dalam pemilihan eksekutif tingkat tinggi adalah merupakan hal yang kurang tepat apabila hanya mempertimbangkan kecerdasan akademik dan keahlian bisnis tanpa menyertakan aspek kecerdasan emosi.
Goleman (1998) dalam bukunya yang berjudul Working with Emotional Intelligence, menetapkan kerangka dari emotional intelligence yang mencerminkan potensi individu untuk menguasai serangkaian ketrampilan dalam self awareness, self management, social awareness dan relationship management yang mendukung keberhasilan dalam bidang tertentu. Sementara emotional competence merupakan suatu kemampuan yang dipelajari berdasarkan potensi emotional intelligence yang akan menghasilkan kinerja dalam pekerjaan tertentu. Untuk mampu menguasai kompetensi seperti pelayanan terhadap pelanggan atau manajemen konflik membutuhkan kemampuan mendasar dalam kecerdasan emosi, yang secara khusus terkait dengan social awareness dan relationship management. Emotional competencies merupakan kemampuan yang dipelajari, berdasarkan hal ini maka memiliki social awareness dan relationship management bukanlah merupakan jaminan bahwa seseorang akan mampu melayani pelanggan dan mengatasi konflik. Kedua komponen dari emotional intelligence tersebut merupakan potensi terhadap kedua kompetensi diatas.
Sehubungan dengan banyaknya penelitian yang menyimpulkan bahwa emotional intelligence memberikan pengaruh yang baik dalam berbagai bidang yang dikerjakan oleh individu. Goleman (2015) memberikan lebih lanjut tentang apakah emotional intelligence dapat dipelajari dan dikembangkan. Seperti halnya kepemimpinan, dalam waktu yang cukup panjang terjadi perdebatan apakah kepemimpinan dibawa sejak lahir atau suatu hal yang bisa diciptakan, demikian halnya dengan emotional intelligence. Apakah seseorang terlahir dengan kadar empati tertentu, ataukah empati merupakah hasil dari pengalaman hidup. Jawabannya adalah keduanya memegang peranan dalam membentuk empati. Secara ilmiah, ditemukan bahwa ada komponen genetik dari emotional intelligence. Penelitian bidang psikologi dan perkembangan juga membuktikan bahwa faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam perkembangan emotional intelligence. Seberapa besar sumbangan masing-masing terhadap emotional intelligence tidak pernah diketahui. Namun dapat diambil kesimpulan bahwa emotional intelligence adalah suatu hal yang dapat dipelajari. Emotional Intelligence terkait dengan usia sehingga istilah kematangan menjadi hal yang umum. Namun demikian tetap saja orang yang telah matang membutuhkan upaya peningkatan emotional intelligence. Banyak pelatihan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan emotional intelligence namun tidak memberikan hasil, hal ini disebabkan karena upaya pelatihan tidak tepat sasaran pada bagian otak yang tepat.
Emotional Intelligence terdaapat pada bagian neurotransmitter sistim limbik otak yang mengatur perasaan, impuls dan dorongan. Penelitian menunjukkan bahwa sistem limbik dapat belajar melalui motivasi, latihan yang diperluas dan umpan balik. Sementara proses pembelajaran pada neurocortex yang mengatur tentang kemampuan menganalisa dan kemampuan teknis. Neurocortex terkait dengan konsep dan logika. Ini adalah bagian otak yang mempelajari bagaimana menggunakan computer atau bagaimana meningkatkan penjualan dengan membaca literature terkait. Seringkali pelatihan kecerdasan emosi menjadi tidak tepat sasaran karena diarahkan pada bagian otak ini. Untuk meningkatkan kecerdasan emosi, pelatihan seharusnya diarahkan pada bagian dari sistem limbik. Pelatihan yang tepat membantu individu untuk menghancurkan kebiasan yang lama dan menggantinya dengan suatu perilaku yang baru. Pendekatan ini memang membutuhkan waktu yang lebih lama dan pendekatan yang sifatnya individual. Sebagai contoh individu yang memiliki empati yang rendah menurut rekan kerjanya yang ditujukkan dalam perilaku dimana ia tidak mendengarkan, menginterupsi dan tidak memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan oleh orang lain. untuk mengatasi masalah, ini individu yang bermasalah tersebut perlu dimotivasi agar memiliki kesediaan untuk berubah dan selanjutnya ia membutuhkan latihan dan umpan balik dari rekan-rekan dalam perusahaan.
Boyatzis (dalam Cherniss & Goleman, 2001) juga mempertanyakan tentang apakah seseorang dapat mengubah kemampuannya dalam serangkaian kompetensi yang berhubungan dengan kecerdasan emosi yang merupakan salah satu penyumbang terhadap performa kerja professional. Boyatzis dkk (dalam Boyatzis, 2014) melakukan penelitian longitudinal di sebuah universitas yang bernama Weatherhead School of Management of Case Western Reverse University menunjukkan bahwa kompetensi terkait dengan kecerdasan emosi merupakan suatu hal yang bisa ditingkatkan. Kompetensi ini membedakan antara pemimpin, manager dan professional yang memiliki kinerja yang luar biasa. Beberapa lulusan MBA yang diwisuda tahun 1992, 1993, 1994 dan 1995 menunjukkan peningkatan sebanyak 47% dalam hak kompetensi self confidence dan self management dibandingkan dengan keadaan saat mereka pertama kali masuk dalam perkualiahan di universitas tersebut. Peningkatan yang lebih tinggi juga terjadi pada kompetensi terkait dengan social awareness dan relationship management skill.
Keefektifan dan keberhasilan membutuhkan kesesuaian antara karakteristik individu yaitu kompetensi, nilai, minat dan lainnya dengan kebutuhan suatu pekerjaan atau peran dan lingkungan organisasi. Dalam manajemen sumber daya manusia, merupakan hal yang umum untuk mengidentifikasi kebutuhan kompetensi untuk performa kerja yang efektif. Selanjutnya mencari kandidat yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan tersebut. Namun, kompetensi bahkan yang telah secara empiris berkaitan dengan performa kerja ungul dan emotional intelligence tidak selalu mampu memprediksi kinerja. Kompetensi ini membantu memahami apa yang mampu dilakukan oleh individu termasuk apa yang dilakukan di masa lalu namun tidak sepenuhnya mampu memprediksi apa yang akan dilakukannya di masa depan. Kompetensi mampu menjelaskan bagaimana performa namun tidak bisa menjelaskan mengapa kita menampilkan suatu performa kerja tertentu. Kita membutuhkan informasi tentan motivasi dan nilai seseorang untuk memastikan komitmen terhadap organisasi dan kesesuaiannya dnegan visi dan budaya organisasi. Hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana ia menggunakan kompetensi yang dimilikinya. Hal ini juga kaan mempengaruhi keinginannya mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Untuk memahami tentang kompetensi yang dibutuhkan untuk performa unggul dalam pekerjaan dan peran, kita tidak bisa lepas dari pemahaman apakah alasan seseorang menggunakan kemampuan yang dimilikinya.
Dalam upaya pengembangan emotional intelligence menurut Chamorro-Premuzic (2013) ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan menurut yaitu:
1. Tingkat emotional intelligence yang dimiliki seseorang bersifat stabil namun bukan berarti tidak bisa dikembangkan. Tingkat emotional intelligence dipengaruhi oleh pengalaman dalam hidup dan genetic yang dimiliki seseorang. Sehingga untuk mengubah atau mengembangkan emotional intelligence membutuhkan waktu dan usaha jangka panjang. Ada orang yang memang secara alami lebih pemarah, pemalu, merasa tidak aman sementara ada orang yang memang secara alami lebih tenang dan terampil dalam berinteraksi dengan orang lain. Namun sisi positifnya adalah tidak ada perilaku yang tidak bisa diubah.
2. Coaching program tertentu memang menunjukkan hasil. Memang tidak ada intervensi yang dapat membuat seseorang dari kondisi awal yang sangat buruk sampai menjadi 100% menunjukkan perilaku yang sangat baik. Namun intervensi yang diranvang dengan baik dapat mencapai perbaikan 25% dengan cepat. Tinjauan kuantitatif mensistesiskan temuan bahwa bagaian dari EI yang dapat dengan cepat menunjukkan hasil perbaikan 50% adalah ketrampilan interpersonal, misalnya perilaku yang terkait dengan kemampuan bernegosiasi dan etiket dalam pergaulan. Sementara untuk program manajemen stres peningkatan yang dilaporkan sekitar 35%. Hal yang menarik menurut studi neuropsikologis yang menyoroti ‘plastisitas’ otak sosial. Penelitian menuntukkan bahwa dengan pelatihan yang tepat dan memadai, seseorang dapat lebih menunjukkan perilaku yang pro sosial dan altruistik.
3. Peningkatan emotional intelligence hanya dapat dicapai apabila ada umpan balik yang akurat. Aspek yang sangat penting dalam upaya peningkatan emotional intelligence adalah pemberian umpan balik. Sebagian besar orang memang jarang memahami sepenuhnya bagaimana orang lain melihat dirinya, jarang ditemukan orang-orang yang luar biasa melakukan kontemplasi atau perenungan terhadap perilakuknya sendiri. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa penilaian diri dan penilaian orang lain memiliki hubungan yang lemah. Dengan kata lain, kita bahkan kurang memiliki penilaian yang akurat mengenai seberapa cerdas atau seberapa menyenangkannya kita terhadap orang lain. dalam banyak bidang kebanyakan orang berpikir bahwa mereka lebih baik dari kondisi yang sebenarnya. Berdasarkan hal ini, intevensi terhadap emotional intelligence harus dimulai dengan membantu individu untuk memahami diri secara akurat mengenai kelebihan dan kelemahannya. Meskipun masih jarang perusahaan yang melakukan evaluasi keefektifan pelatihan, ada bukti yang kuat bahwa menggunakan metode penilaian yang valid seperti umpan balik 360 derajat memberikan hasil yang baik. penelitian eksperimental terhadap 1361 manajer perusahaan global menunjukkan bahwa pelatihan berbasis umpan balik meningkatkan kecenderungan dari para manajer untuk meningkatkan kinerja mereka.
4. Beberapa tehnik (atau pelatih) memiliki kompetensi yang lebih daripada yang lainnya. Tidak semua metode atau pelatih memberikan dampak yang sama saat menerapkan upaya peningkatan emotional intelligence. Berdasarkan penelitian, teknik yang memberikan dampak yang positif salah satunya adalah cognitive behavior therapy. Usaha-usaha yang diarahkan untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis juga tergolong efektif. Namun demikian upaya untuk peningkatan emotional intelligence merupakan seni sehingga keberhasilannya dipengaruhi oleh banyak hal termasuk kapasitas dari pelatih yang memberikan bimbingan.
5. Sebagian orang memang lebih mudah untuk dilatih dibandingkan dengan orang lain. Bahkan ada kemungkinan bahwa pelatih dan pelatihan yang terbaik mengalami kegagalan ketika diterapkan pada orang tertentu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya antusiasme dari klien untuk mengikuti program yang ditetapkan.
Serrat (2009) membuat suatu kerangka dan aplikasi dari pengembangan emotional intelligence. Ia mengacu pada teori yang menyatakan bahwa individu memiliki kepribadian, keinginan kebutuhan dan cara mengungkapkan emosi yang berbeda-beda. Dalam kerangka yang umum, emotional intelligence meliputi 5 domain yaitu personal (self awareness, self regulation, self motivational) dan sosial (social awareness dan social skill). Kelima domain ini semakin bisa dipahami dengan baik dalam penjelasan sebagai berikut:
1. Self-Awareness yang terdiri dari (a) Emotional awareness yang merupakan kemampuan dalam memahami emosi pribadi dan dampaknya; (b) Accurate self-assessment yaitu memahami kekuatan dan batasan diri secara emosi; (c) Self-confidence: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
2. Self-Regulation yang terdiri dari: (a) Self-control yaitu kemampuan dalam mengelola emosi dan dorongan; (b) Trustworthiness yaitu mampu mempertahankan standar kejujuran dan integritas; (c) Conscientiousness yaitu tanggungjawab terhadap performa diri; (d) Adaptability yaitu fleksibilitas dalam menghadapi perubahan; (e) Innovativeness yang merupakan keterbukaan terhadap ide dan informasi baru
3. Self-Motivation (a) Achievement drive dorongan meningkatkan dan memenuhi standar keunggulan; (b) Commitment yaitu kemampuan menyelaraskan diri dengan tujuan kelompok dan organisasi; (c) Initiative yaitu kesiapan bertindak dalam berbagai kesempatan; (d) Optimism: persistensi dalam mengejar target dan mengatasi hambatan dan kesulitan.
4. Social Awareness terdiri dari: (a) empathy: merasakan perasaan dan sudut pandang orang lain dan menunjukkan ketertarikan yang aktif kepada orang lain, (b) Service orientation: yaitu menyadari dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan orang lain, (c) Developing others: kemampuan merasakan kebutuhan dan keinginan untuk mengembangkan orang lain, (d) Leveraging diversity: mampu memanfaatkan peluang dari berbagai jenis orang, (v) Political awareness: memahami adanya kekuatan suatu hubungan.
5. Social Skills (a) Influence: memiliki kemampuan dalam mempersuasi, (b) Communication: mammpu memahami dan mennyampaikan ide secara jelas, (c) Leadership: menginspirasi dan mengarahkan kelompok, (d) Change catalyst: menginisiasi dan mengelola perubahan, (e) Conflict management: bernegosiasi dan mengatasi ketidaksetujuan, (f) Building bonds: mengelola hubungan, (g) Collaboration and cooperation: bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, (h) Team capabilities: menciptakan sinergi.
Serrat (2009) memberikan penjelasan tentang bagaimana penerapan kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dalam pekerjaan. Adapaun langkah-langkah dalam mengembangkan kecerdasan emosi di tempat kerja adalah sebagai berikut:
1. Paving the Way, pada tahapan ini dilakukan beberapa aktifitas yaitu (a) melakukan penilaian terhadap kebutuhan perusahaan, (b) melakukan penilaian terhadap kebutuhan individu , (c) Memaksimalkan pilihan dalam pembelajaran, (d) meningkatkan keinginan partisipan dalam belajar, (e) mengaitkan tujuan belajar dengan nilai personal, (f) menyesuaikan harapan, (g) mengevaluasi kesiapan.
2. Doing the work of change yang meliputi aktifitas (a) membangun hubungan positif antara pelatih dan peserta, (b) mengupayakan perubahan yang didorong oleh keinginan diri (self directed), (c)menetapkan tujuan yang jelas, (d) membagi tujuan menjadi tahapan yang rasional, (e) memberikan kesempatan untuk berlatih, (f) memantau performa/perubahan dan memberikan balik, (g) memberikan dukungan, (i) memunculkan insight
3. Encourage transfer and maintenance of change yang meliputi (a) mendorong penerapan ketrampilan yang dipelajari dalam pekerjaan, (b) mengembangkan budaya organisasi yang mendukung pembelajaran
4. Evaluate the change yang merupakan tahapan melakukan evaluasi dalam perubahan



IV. KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. KESIMPULAN
1. Emotional intelligence memiliki dampak yang besar terhadap pencapaian seseorang dalam konteks pekerjaan. Emotional intelligence yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana ia berinteraksi, menanggapi kesulitan, mengelola tekanan dan juga mempengaruhi kemampuan dalam memimpin
2. Emotional intelligence bersifat relative stabil namun bukan berarti tidak dapat berubah. Pengembangan emotional intelligence membutuhkan proses dan metode yang tepat. Pengembangan ini bukan ilmu pasti namun merupakan seni sehingga membutuhkan kemampuan pelatih yang akurat dan disertai dengan dorongan dan antusiasme seseorang untuk berubah.
3. Adapun tahapan yang bisa dilakukan untuk mengembangkan emotional intelligence dalam konteks pekerjaan adalah (a) paving the way, (b) doing the work of change, (c) encourage transfer and maintenance of change, (d) evaluate the change.

IV.2. SARAN
Sehubungan dengan dampak kecerdasan emosi yang cukup luas dalam konteks pekerjaan maka adalah penting bagi karyawan untuk menyadari dan mengembangkan emotional intelligence secara mandiri melalu berbagai kegiatan atau pelatihan. Karyawan juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan meningkatkan antusiasme ketika diberikan program untuk pengembangan emostional intelligence ini.
Bagi perusahaan sebaiknya melakukan upaya yang intensif untuk mengaplikasikan emotional intelligence baik dalam proses seleksi, pelatihan/pengembangan maupun program pengembangan lainnya dalam kaitannya dengan sumber daya manusia. Program ini tentunya membutuhkan biaya dan berbagai konsekuensi lainnya sehingga menuntut adanya komitmen dari manajemen dalam menerapkannya. Sebaiknya upaya pengembangan emotional intelligence dilakukan secara berkesinambungan.














DAFTAR PUSTAKA

Boyatzis, R.E; Passarelli, A.R & Wei, H. 2014. Leader Interpersonal & Influence Skills: The Soft Skills of Leadership. New York: Routledge

Carmeli, A., & Josman, Z. E. (2006). The relationship among emotional intelligence, task performance, and organizational citizenship behaviors. Human Performance, Vol 19, 403-419

Chamoro-Premuzic, T. 2013. Can You Really Improve Your Emotional Intelligence. Harvard Business Review. https://hbr.org/2013/05/can-you-really-improve-your-em. Diakses tanggal 10 JDesember 2019.

Cherniss, C. & Goleman, D. 2001. The Emotionally Intelligent Workplace: How to Select for Measure and Improve Emotional Intelligence in Individuals, Groups and Organizations. Jossey Bass. San Fransisca

Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books

Goleman, D. 2015. HBR’s 10 Must Reads on Emotional Intelligence. Massachusetts: Harvard Business Review

McDermott, L.C. 2008. Basic of Emotional Intelligence. Alexandria: ASTD Press

Revolti, A. 2019. How to Develop Emotional Intelligence: A Step by Step Guide to Developing Self Awareness, Improving People Skills and Creating Happier Relationship. Beppe Amico.

Serrat, O. 2009. Understanding and Developing Emotional Intelligence. Manila: Asian Development Bank

Srivastava, K. 2013. Emotional Intelligence and Organizational Effectiveness. Industrial Psychiatry Journal. Vol 2. Walter Kluwer Publication.
Published
2020-03-14